Kamis, 24 Maret 2011

Pengagaraman Basah pada Ikan layang (Decapterus rusalli)

I. PENDAHULUAN




1.1 Latar Belakang

Negara kepulauan Republik Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar, dimana Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau dengan luas laut teritorial 0,3 juta km2, perairan Nusantara 2,8 juta km2 dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2,7 juta km2, dengan jumlah total 5,8 juta km2 perairan yang sangat luas dimana di dalamnya terdapat kekayaan sumber daya ikan yang sangat berlimpah. Wilayah perairan laut Indonesia memiliki kandungan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hayati (ikan) yang berlimpah dan beraneka ragam (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).

Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani merupakan bahan makanan yang dapat memberikan sumbangan cukup besar dalam peningkatan gizi masyarakat. Daging ikan selain mengandung protein juga mempunyai kandungan air cukup tinggi yang merupakan media kehidupana bagi bakteri pembusuk, sehingga ikan akan sangat cepat mengalami proses pembusukan. Kondisi seperti ini sangat merugikan karena akan banyak ikan yang tidak dapat dimanfaatkan dan dibuang terutama pada saat kondisi melimpah (Moelijanto, 1992). Pengawetan atau pengolahan perlu diketahui untuk memusnahkan atau mengurangi jumlah bakteri sehingga kualitas ikan dapat dipertahankan dalam kondisi yang baik untuk waktu yang relatif lama. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah proses pembusukan ikan tersebut adalah dengan jalan penggaraman (Akhirudin, 1985).

Pengolahan dengan penggaraman memiliki beberapa keunggulan diantaranya proses pengolahannya sederhana, mudah dan tidak mahal, bahan baku yang digunakan dapat berasal dari berbagai jenis ikan sehingga dapat menggunakan hasil tangkapan yang bernilai ekonomis rendah atau ikan rucah, (Suparno, 1992). Produk penggaraman biasanya mengandung nilai gizi yang lebih tinggi dari bahan asalnya. Selain itu penggaraman dapat membantu dalam mengawetkan makanan dan juga memberikan sifat-sifat tertentu yang dapat menjadi daya tarik bagi konsumen, unik serta dapat meningkatkan nilai ekonomi. Konsentrasi garam yang digunakan dalam penggaraman ikan sangat menentukan mutu ikan olahan tersebut, disamping kesegaran bahan bakunya. Karena pemberian garam mempengaruhi jenis mikroba yang berperan dalam fermentasi. Ijong dan Ohta dalam Halgi G (2007) menyatakan bahwa garam merupakan bahan bakteriostatik untuk beberapa bakteri meliputi bakteri patogen dan pembusuk.

Pengolahan dengan mengunakan media garam atau yang sering disebut dengan penggaraman sangat berguna untuk mencegah pembusukan ikan akan tetapi harus tetap diperhatikan cara pembuatannya supaya mutu hasil prosuksinya memiliki mutu yang baik. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian untuk membuat ikan asin layang (Decepterus rusalli) yang bermutu baik dengan konsentrasi garam yang tepat dan sehingga pembusukan ikan yang di sebabkan oleh bakteri dapat dikurangi.

1.2 Rumusan Masalah

Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan baik secara fisikal, kimiawi, mikrobiologik dan organoleptiknya. Oleh karena itu penangan ikan mulai dari ikan ditangkap sampai pasca tangkap sangat penting sebagai upaya untuk mempertahankan kualitas ikan, pada umumnya untuk mempertahankan kualitas ikan dapat dilakukan dengan cara penggaraman. Berdasarkan dari pemikiran tersebut, dan latar belakang maka penulis mengambil rumusan masalah:

1. Apakah konsentrasi garam dengan sistem penggaraman basah mempengaruhi mutu organoleptik ikan layang (Decapterus russelli)?

2. Berapakah konsentrasi garam yang optimal untuk menjaga mutu ikan layang (Decapterus russelli) menggunakan sistem penggaraman basah?



1.1 Tujuan

Berdasarkan pada latar belakang dan perumusan masalah yang telah disebutkan diatas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui pengaruh konsentrasi garam yang berbeda pada sistem penggaraman basah terhadap mutu pengasinan ikan layang (Decapterus russelli).

2. Mengetahui konsentrasi garam yang optimal untuk menjaga mutu ikan layang (Decapterus russelli).

1.2 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian tentang penanganan hasil tangkap menggunakan sistem penggaraman basah terhadap ikan layang (Decapterus russelli) dengan konsentrasi garam yang berbeda terhadap mutu organoleptik yaitu :

1. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat yang bekerja pada industri pengolahan ikan Asin.

2. Dapat dipergunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi yang berminat untuk mendalami lebih lanjut berkenaan dengan “Pengaruh Konsentrasi Garam Yang Berbeda Pada Sistem Penggaraman Basah Terhadap Mutu Pengasinan Ikan Layang (Decapterus russelli)”.

3. Bagi peneliti untuk mencari teori baru dan memperkaya ilmu pengetahuan mengenai “Pengaruh Konsentrasi Garam yang Berbeda pada Sistem Penggaraman Basah terhadap Mutu Pengasinan Ikan Layang (Decapterus russelli)”.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Perhatian untuk meneliti masalah penanganan ikan dan mutu hasil perikanan secara umum sudah lama dilakukan, untuk membantu penelitian ini peneliti mendapatkan beberapa penelitian terdahulu yang mengacu terhadap kaji efek konsentrasi atau konsentrasi garam terhadap hasil perikanan. Adapun beberapa peneliti yang membantu penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut:

Wijatur W (2009), menyatakan bahwa konsentrasi garam mempengaruhi tingkat kenampakan, warna dan rasa akan tetapi tidak mempengaruhi aroma dan tekstur pada ikan kembung (rasteriger sp) dengan fermentasi sepontan.

Rochima E (2005), Menyimpulkan bahwa konsentrasi garam dan lama fermentasi umumnya berpengaruh terhadap penampakan, aroma terkstur dan rasa jambal roti. Skor karakteristik organoleptik jambal roti yang baik diperoleh pada konsentrasi garam sebanyak 30% dengan lama fermentasi 24 jam.

Suparno (1992), menyimpulkan bahwa konsentrasi garam dan lama fermentasi berpengaruh terhadap mutu ikan asin. Konsentrasi garam yang baik untuk penggaraman pada ikan-ikan besar yaitu antara 20% - 25%, untuk ikan yang berukuran sedang antara 15% - 20% dengan lama fermentasi selama 24 jam sedangkan untuk ikan dengan ukuran kecil sebanyak 5% - 20% dan lama fermentasi selama 24 jam.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Ikan Layang (Decapterus russelli)

Ikan layang (Decapterus russelli) mempunyai nama umum round scad (Nurhakim dalam Tyo C, 2010). Ikan layang merupakan ikan yang mempunyai kemampuan bergerak dengan cepat di air laut. Tingginya kecepatan tersebut dapat dicapai karena bentuk tubuhnya yang seperti cerutu dan mempunyai sisik yang sangat halus (Burhanuddin dalam Tyo C, 2010). Ikan layang (Decapterus russelli) hidup di perairan dengan salinitas tinggi yaitu ± 32‰. Ikan layang juga termasuk dalam ikan stenohalyn yang dapat hidup dengan memakan plankton.

Klasifikasi ikan layang (Decapterus russelli) adalah sebagai berikut :

· Filum : Chordata

· Subfilum : Vertebrata

· Kelas : Actinopterygii

· Ordo : Perciformes

· SubOrdo : Percoidei

· Famili : Carangidae

· Genus : Decapterus

· Spesies : Decapterus russelli

2.2.2 Ikan segar

Ikan dikatakan mempunyai kesegaran yang maksimal apabila sifat-sifatnya masih sama dengan ikan hidup baik berupa bau, cita rasa, maupun teksturnya. Apabila penanganan ikan kurang baik maka kualitasnya akan menurun. Kesegaran ikan tidak dapat ditingkatkan, tetapi hanya dapat dipertahankan. Oleh karena itu, penanganan dan penyimpanan ikan yang baik sangat penting sebagai upaya untuk mempertahankan mutu ikan. (Departemen kelautan dan perikanan 2006).

Adapun ciri-ciri ikan segar adalah sebagai berikut:

1. Rupa dan warna ikan secara keseluruhan masih cerah, mengkilap spesifik sesuai jenis ikan.

2. Lendir yang tipis, bening dan encer menyelubungi tubuh ikan baunya normal dan khas jenis ikan.

3. Sisik melekat kuat-mengkilat dengan warna atau tanda khusus sesuai jenis ikan.

4. Mata cemerlang, cembung, bening, pupil hitam dan tidak banyak berdarah.

5. Daging kenyal, jika dipijat, bekas pijatan tidak nampak.

6. Insang berwarna merah cerah khas menurut jenis ikan, tertutup lendir yang tipis, bening dan berbau segar.

7. Bagian perut masih kuat, tidak pecah dan lubang dubur tertutup.

2.2.3 Penurunan Mutu Ikan

Proses penurunan mutu ikan terjadi karena aktifitas enzimatis, mikrobiologi dan kimiawi, ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan (Junianto, 2003).

Rigor Mortis merupakan proses penurunan mutu pada ikan. Rigor Mortis terdiri dari 3 tahap, yaitu:



1. Pre Rigor

Tahap pre rigor merupakan saat terjadi pelepasan lendir dari kelenjar dibawah kulit membentuk lapisan bening tebal disekeliling tubuh ikan. Keadaan ini terjadi ketika jaringan otot masih lembut dan lentur serta secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar kreatin fosfat.

2. Rigor

Tahap rigor ditandai dengan keadaan otot yang kaku dan keras, hilangnya kelenturan karena terbentuknya aktomiosin. Tahap rigor berlangsung selama 1-6 jam, tergantung kadar glikogen dan suhu lingkungan.

3. Post Rigor

Tahap post rigor merupakan saat ikan telah mengalami kemunduran mutu yang sangat signifikan dan pada tahap ini ikan bisa dianggap busuk.



2.2.4 Pengawetan Ikan

Dasar pengawetan ikan adalah untuk mempertahankan ikan selama mungkin dengan menghambat atau menghentikan aktivitas mikroorganisme pembusuk. Hampir semua cara pengawetan akan menyebabkan berubahnya sifat-sifat ikan segar, baik itu dalam hal bau, rasa, bentuk, maupun tekstur dagingnya. Berdasarkan caranya pengawetan ikan dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu golongan tradisional dan moderen. Cara tradisional umumnya dilakukan oleh para nelayan dengan memakai alat dan bahan yang sederhana dalam cara ini yang digunakan yaitu pengeringan, penggaraman, pengasapan dan fermentasi. Cara moderen umumnya dilakukan oleh Industri yang sudah menggunakan alat dan bahan yang sudah moderen, pengawetan secara moderen dilakukan dengan pembekuan dan pengalengan, (Doddy A, 1998).

2.2.5 Penggaraman

Menurut Budiman S (2004), Secara umum pengertian penggaraman adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengawetkan produk hasil perikanan dengan menggunakan garam. Garam yang digunakan adalah jenis garam dapur (NaCl), baik berupa kristal maupun larutan. Teknologi penggaraman biasanya tidak digunakan sebagai metode pengawetan tunggal, biasanya masih dilanjutkan dengan proses pengawetan lain seperti pengeringan ataupun dengan perebusan. Sehingga kita bisa menjumpai tiga macam produk ikan asin, yaitu : ikan asin basah, ikan asin kering dan ikan asin rebus (ikan pindang). Kecepatan proses penyerapan garam kedalan tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Kesegaran tubuh ikan. Semakin segar ikan, maka proses penyerapan garam kedalam tubuh ikan akan semakin lambat.

2. Kandungan Lemak. Lemak akan menghalangi masuknya garam kedalam tubuh ikan, sehingga ikan yang kandungan lemaknya tinggi akan mengalami penyerapan garam yang lambat.

3. Ketebalan daging ikan. Semakin tebal daging ikan maka proses penggaraman semakin lambat.

4. Kehalusan kristal garam. Garam yang halus akan lebih cepat larut dan meresap kedalam tubuh ikan. Tetapi penyerapan yang terlalu cepat akan mengakibatkan permukaan daging cepat mengeras (Salt burn) dan ini akan menghambat keluarnya kandungan air dari bagian dalam tubuh ikan.

5. Suhu. Semakin tinggi suhu larutan, maka viskositas larutan garam semakin kecil sehingga proses penyerapan akan semakin mudah.

2.2.6 Penggaraman Basah

Penggaraman basah merupakan penggaraman yang menggunakan larutan garam.. Ikan yang akan digarami dimasukkan kedalam larutan garam tersebut, kemudian bagian atas wadah ditutup dan diberi pemberat agar semua ikan terendam. Lama waktu perendaman tergantung pada ukuran ketebalan tubuh ikan dan derajat keasinan yang diinginkan, dalam proses osmosa kepekatan larutan garam akan semakin berkurang karena adanya kandungan air yang keluar dari tubuh ikan, sementara itu molekul garam masuk kedalam tubuh ikan. Proses osmosa akan berhenti apabila kepekatan larutan diluar dan didalam tubuh ikan sudah seimbang. (Budiman S, 2004).

2.2.7 Larutan Garam

Larutan garam merupakan cairan yang digunakan untuk penggaraman dengan metode penggaraman basah. pembuatan larutan garam ini menggunakan garam yang telah disimpan lama paling tidak 3 bulan. Garam yang telah disimpan lama menyebabkan bakteri tahan garam tersebut dapat mati dengan sendirinya. Larutan garam harus disimpan selama minimum 2 hari. Selama masa penyimpanan, larutan garam itu menjadi jernih dan bakteri akan mati. Larutan yang diperolah dapat digunakan untuk penggaraman ikan dengan hasil yang baik. (Suparno, 1992). Setiap 1 persen larutan garam sama dengan 1 gram garam yang dilarutkan dengan air sebanyak 1 liter. (Budiman S, 2004).

2.2.8 Pengeringan Ikan

Pengeringan ikan yang telah digarami adalah cara pengawetan ikan yang paling sederhana dan murah dibandingkan cara pengawetan lainnya. Pengeringan ikan dapat dilakukan dengan berbagai cara baik secara tradisional atau menggunakan sinar matahari akan tetapi dengan cara ini memiliki beberapa masalah dikarenakan tergantung terhadap matahari dan sering kali ikan diganggu oleh serangga dan juga sering mengakibatkan ikan menjadi berjamur. Cara menggunakan alat pengering tenaga surya (solar Dryer), dengan menggunakan alat ini proses pengerigan dapat lebih cepat dan bebas pencemaran dari luar sehingga hasil lebih bersih, sehat dan tidak terpengaruh olah hujan. Cara yang paling epektif adalah menggunakan alat pengering mekanik yang dalam proses pengeringannya dapat di kendalikan, tidak tergantung olah cuaca dan tingkat kekeringan lebih seragam, dalam proses pengerigan menggunakan alat ini tidak boleh lebih dari 45ยบ agar ikan tidak terjadi pengkerakan dan matang. (Suparno, 1992)

2.2.9 Uji Organeloptik

Analisis organoleptik merupakan analisis terhadap suatu benda dengan menggunakan panca indera manusia. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui sifat organoleptik produk yang dihasilkan. Uji organoleptik ini menggunakan cara uji penerimaan atau acceptance test atau preference test. Tujuan uji penerimaan adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik tertentu dapat diterima oleh masyarakat.

Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Pada uji ini panelis mengemukakan tanggapan pribadi yaitu kesan yang berhubungan dengan kesukaan atau tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensoris atau kualitas yang dinilai. Uji penerimaan lebih subyektif dibandingkan uji lainnya seperti uji pembedaan. Uji penerimaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu meliputi uji mutu hedonik dan uji kesukaan atau uji hedonik. (Tim Uji Sensorik POLIJE, 2001)




Tidak ada komentar: